PUASA DAN KESALEHAN POLITIK -->

Archive Pages Design$type=blogging$count=7

PUASA DAN KESALEHAN POLITIK

BERITAREPUBLIK.COM
10 April 2023



Adhe Ismail Ananda, S.H., M.H.
(Akademisi USIMAR Kolaka)

Puasa sebagai sarana untuk mewujudkan Kesalehan Berpolitik dapat dilihat dalam dua sudut pandang, pertama, karena ramadhan adalah ajang pelatihan kesehatan mental dan pikiran secara spiritual dan yang kedua, karena Ramadhan sebagai media yang efektif untuk internalisasi nilai pendidikan karakter sebagai tujuan dan buah ritual ketakwaan yang diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Puasa melatih kita untuk menahan segala hal yang membatalkan puasa semata-mata sebagai upaya meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT yang merupakan manifestasi dari bentuk kejujuran, ketulusan, rendah hati dan saling peduli. 

Begitu juga dengan politik, orientasinya adalah untuk melahirkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang merupakan manifestasi dari sikap jujur, amanah, toleran, dan saling peduli sehingga menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera. Karena sejatinya, politik itu bertujuan untuk kebaikan hidup manusia. 

Maka puasa dan politik merupakan satu jalan menuju kedamaian hidup manusia yang didalamnya terkandung orientasi-orientasi besar yang ingin kita tuju Bersama dan dijadikan sumber pembelajaran. yaitu la’allakum tattaqun (agar bertakwa) la’allakum tasykurun (agar bersyukur) dan la’allahum yarsyudun (agar berlaku dalam kebenaran). 

At-taqwa menjadikan kita berkomitmen dengan aturan, As-syukr mengarahkan kita adil menjalankan segala sesuatu sesuai seharusnya, dan Ar-rusyd mendorong kita menjadi manusia yang lurus, baik dan benar.

Puasa yang kita laksanakan di bulan Ramadhan dapat dijadikan sebagai momentum terbaik untuk pengontrol suhu konstelasi politik menyongsong Pemilu dan pilkada serentak tahun 2024 agar terwujudnya prosesi politik yang damai dan bermoral. 

Sikap baper, latah dan semangat berpolitik masyarakat harus dibenahi dengan matang melalui prinsip-prinsip etika keislaman. 

Tetapi di sisi lain, kita kerap menyaksikan kebiasaan aktor-aktor politik, terutama mereka yang tampak terobsesi menjadi Bupati, Gubernur, DPR, DPRD bahkan Presiden. Secara naluriah, mereka bakal menggunakan momentum ini sebagai ajang membangun kedekatan yang lebih kuat dengan masyarakat. Tentu melalui program-program berorientasi sosial, untuk mendongrak elektabilitas. 

Spanduk ucapan selamat menyambut bulan Ramadhan ataupun sejenisnya lengkap dengan pose manis dari para kandidat memadati pagar-pagar masjid, Kegiatan safari politik yang dibungkus safari Ramadhan, buka puasa Bersama yang bermuatan kampanye praktis, menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, dan kegiatan sosial lainnya yang pastinya tidak luput dengan liputan media massa dan media sosialnya. 

Berpolitik di bulan penuh keberkahan bukanlah suatu hal yang dilarang, Berpolitik adalah fitrah manusia. Semua manusia normal melakukan kegiatan politik. Bahkan seorang bayi yang baru lahir pun sudah berpolitik. dengan tangisannya, sang bayi memengaruhi lingkungan sekitarnya agar memperhatikan dirinya dan menjadi pusat perhatian. 

Ibunya segera merangkul sang bayi dan memberikan ASI sampai tangisannya berhenti. Itu kegiatan politik kelas pemula. Mempengaruhi sekitar adalah bentuk kegiatan pencitraan politik. 
Meski demikian, ada sebagian masyarakat yang merasa tidak senang dengan perilaku aktor-aktor politik yang memanfaatkan bulan ramadhan untuk agenda pencitraan politik. Sebetulnya masyarakat dapat menilai bagaimana etika aktor-aktor politik dalam melakukan pencitraan politik. 

Bagaimana mereka memperlakukan rakyat, bisa dilihat dari cara mereka berkomunikasi. Apakah ada perbedaan konten saat mereka berada di dalam atau di luar frame kamera. Kita cukup dapat memahami, bahwa logika marketing memang berbeda secara dengan logika ibadah (terutama dalam konteks puasa). Jika ibadah itu semakin privat semakin baik, sebaliknya logika marketing semakin viral semakin baik. Masalahnya di bulan Ramadan kerapkali agenda ibadah dan pemasaran dijalankan dalam satu paket. 
Perilaku sosial telah menyatu dalam kegiatan pengungkitan popularitas-elektabilitas. 

Yang lebih sering terjadi, justru di bulan puasa para figur yang terobsesi duduk di panggung politik lebih atraktif dan agresif dalam menjalankan agenda-agenda pencitraan politik. Apalagi, Pemilu dan pilkada 2024 tinggal menghitung bulan, tentunya tahun ini adalah momentum paling menentukan untuk memenuhi target elektabilitas. 

Jadi, sesungguhnya sangat wajar, apabila tahun ini para aktor politik bekerja keras menggenjot elektabilitasnya, karena dihitung sebagai investasi yang akan dipetik di tahun berikutnya. Jadi, mengharapkan Ramadan sebagai bulan yang 'suci' dari pencitraan politik, merupakan sebuah ilusi. Sebaiknya ekspektasi tersebut diturunkan ke level yang lebih realistis namun konkret. 

Kegiatan pencitraan dapat tetap dilakukan, namun mereka harus didorong, terutama yang statusnya masih sebagai pejabat publik /penyelenggara negara. Kualifikasi individu penyelenggara negara menjadi salah satu faktor penting yang memengaruhi atas kebaikan, baik perilaku individu dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik maupun institusi sebagai representasi dari organisasi yang dituangkan dalam bentuk kebijakan publik. Di titik ideal, melalui penempaan selama Ramadhan, dari penyelenggara negara akan lahir kebijakan yang maslahat dan terhindar dari kebijakan yang muslihat.

Terkait kontestasi pemilu dan pilkada, seyogyanya haruslah bermuara pada upaya mewujudkan ‘kesalehan politik’ maupun kesalehan sosial. Karena rakyat memerlukan keseimbangan langkah untuk mewujudkan ketertiban dalam berpolitik dan keteraturan dalam bermasyarakat. Ibadah yang dikerjakan selama bulan Ramadhan mestinya secara inheren menjadi Instrumen yang idealnya melahirkan individu yang autentik, jujur, dan peduli atas persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai Ramadhan termanifestasikan dalam tindakan yang sesuai dengan norma hukum dan etik.

Kondisi ini membuat kita menjadi paham, bahwa mengapa manusia-manusia terpilih terdahulu seperti Rosul, Nabi atau pun para filsuf dan cendikiawan menjadikan puasa sebagai ibadah favorit. Ternyata puasa tidak hanya dapat membangun kesalehan personal, tetapi juga sosial. 

Dengan demikian, dalam Ramadhan ini kasalehan politik harus dijadikan sebagai agenda utama. Perilaku machiavellianisme harus segera kita sudahi. Selain akan mengurangi kualitas ibadah puasa kita, perilaku buruk seperti itu berpotensi merusak persatuan yang telah lama disemai oleh para pendahulu kita. 

*/rb