Oleh:
Adhe Ismail Ananda, S.H., M.H.
(Akademisi Fakultas Hukum Undana Kupang)
Beritarepublik.com-
Kabupaten Kolaka baru saja mencatat sejarah: menjadi wilayah dengan cadangan nikel terbesar di Indonesia, bahkan mungkin di Asia. Data resmi menunjukkan angka yang mencengangkan: 97.401.593.025,72 ton nikel terkandung di perut bumi Kolaka. Namun, di balik kemegahan angka itu, realitas di permukaan justru menjadi perbincangan.
Masih banyak warga desa yang bergulat dengan jalan berlubang, air keruh, dan lapangan kerja yang tak pasti. Apakah besarnya cadangan nikel ini mencerminkan kemakmuran? Atau justru menjadi gambaran paling tragis tentang ironi sumber daya alam yang gagal menjamin kesejahteraan?. Pujian atas prestasi geologis ini ramai dibicarakan di media, dijadikan kebanggaan dalam pidato pejabat dan dikapitalisasi oleh investor tambang.
Tapi dalam diam, masyarakat kecil di lingkar tambang terus bertanya: di mana posisi kami dalam lingkaran bagai emas ini? Apakah kami sekadar penonton dari drama industrialisasi yang mengebiri ruang hidup kami? Jika kekayaan sebesar itu tak mampu mengangkat derajat rakyat Kolaka, maka narasi "nikel sebagai penyelamat" hanya dongeng elit yang tak pernah menyentuh realitas akar rumput.
Tambang-tambang menjulang, alat berat bergemuruh, dan pelabuhan ekspor dipenuhi muatan.
Tapi apakah sekolah-sekolah di pelosok Kolaka ikut dibangun? Apakah gaji buruh tambang cukup untuk menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi? Apakah perempuan-perempuan di desa lingkar tambang terbebas dari beban ganda dan eksploitasi ekonomi? Seringkali, pembangunan hanya dilihat dari grafik ekspor dan pertumbuhan makro, tanpa menghitung tetesan air mata rakyat yang terus terpinggirkan oleh mesin-mesin pertambangan. Sumber daya seharusnya menjadi jalan menuju kemandirian daerah, bukan jebakan ketergantungan.
Kita menyaksikan potret lain: kekayaan alam justru menjadi alasan negara hadir dengan logika ekonomi ekstraktif. Tanah dibelah, hutan digunduli, dan laut berpotensi tercemar demi mimpi besar bernama “hilirisasi.”
Kita terlalu sering terpukau oleh angka-angka produksi, angka ekspor, angka investasi. Tapi di balik itu, ada angka-angka lain yang luput dari perhatian: angka anak putus sekolah, angka konflik agraria, dan angka-angka lainnya. Apalah arti 97 miliar ton nikel jika hasil produksi gabah sang petani mengalami penurunan ketika pengairan sawah berwarna kuning kecoklatan?
Apakah kekayaan itu masih bisa disebut berkah, jika ia menyisakan luka ekologis yang tak tersembuhkan dalam satu generasi? Perusahaan tambang berdatangan membawa janji: lapangan kerja, perputaran ekonomi, modernisasi wilayah. Tapi seiring berjalannya waktu, kita tahu bahwa janji itu sering menggantung tanpa ujung. Buruh lokal tetap menduduki posisi rendah, nilai tambah diekspor mentah, dan hasil bumi Kolaka tetap tak mampu menjamin kesejahteraan.
Bahkan dalam beberapa kasus, aparat desa lebih sibuk mengurus CSR tambang daripada mengelola aspirasi warganya. Sistem ini bukan pembangunan, ini adalah pemiskinan yang disulap menjadi investasi.
Apakah kehadiran tambang telah memperkaya Kolaka atau justru membuatnya kehilangan identitas? Desa-desa yang dulunya agraris kini terpaksa beradaptasi dengan pola hidup industrial yang cepat, kasar, dan penuh risiko.
Alih fungsi lahan merajalela, konflik horizontal merebak, dan ruang hidup mengecil. Di satu sisi, pemerintah daerah merasa sedang memajukan daerah, tapi di sisi lain, masyarakat kehilangan akar mereka. Kekayaan nikel telah mengubah wajah Kolaka, tapi apakah perubahan itu bersifat membebaskan atau menindas? Dalam diskursus publik, Kolaka disebut-sebut sebagai "masa depan ekonomi hijau Indonesia." Sebuah ironi yang sulit ditelan.
Bagaimana mungkin kita bicara ekonomi hijau sementara sungai-sungai menghitam, debu nikel berterbangan, dan udara yang tidak lagi bersahabat, Istilah ekonomi hijau hanya menjadi kamuflase dari eksploitasi brutal. Jika kita tidak segera mengubah pendekatan, maka kita bukan sedang membangun masa depan melainkan menanam bom waktu ekologis di tanah yang kita warisi untuk anak cucu.
Negara, dalam hal ini pemerintah pusat maupun daerah, mestinya hadir bukan sekadar sebagai regulator, tapi sebagai penjaga keadilan. Sayangnya, dalam banyak kasus, negara lebih sibuk menjadi fasilitator investasi ketimbang pembela rakyatnya. Rakyat yang menolak tambang dicap penghambat pembangunan dan dianggap provokator.
Media lokal lebih suka memberitakan peresmian smelter ketimbang meliput sungai-sungai yang berubah warna kuning kecoklatan dan menjadi sumber pengairan lahan warga. Ketika rakyat bicara soal keadilan, elite justru bicara peluang investasi.
Ketimpangan dalam narasi ini memperlihatkan bahwa pembangunan di Kolaka tidak sedang dirancang untuk semua, melainkan hanya untuk yang kuat, yang punya modal, dan yang dekat dengan kekuasaan. Maka, 97,4 miliar ton nikel itu tak lebih dari angka bisu jika ia gagal menjawab pertanyaan paling mendasar: apakah rakyat Kolaka hidup lebih baik atau justru lebih tersisih?
Ironisnya, di tengah gemerlap cadangan nikel hipotetik Kolaka yang mencapai 97,4 miliar ton, berdasarkan data BPS (Kolaka dalam Angka 2025) masih terdapat 11,67% penduduk miskin di Kolaka dari total populasi jiwa. Bahkan indeks kedalaman kemiskinan masih berada di angka 1,78 yang menunjukkan ketimpangan distribusi pendapatan antar masyarakat miskin itu sendiri.
Kekayaan mineral yang melimpah ternyata belum menjadi garansi bagi meratanya kesejahteraan. Seolah negeri ini berdiri di atas emas tapi berpijak dalam kubangan lumpur ketimpangan yang tak terselesaikan. Apa yang terjadi di Kolaka adalah potret klasik pembangunan yang pincang. Negara terlalu sibuk membanggakan neraca ekspor, padahal rakyat lokal justru sibuk mencari pekerjaan. Tahun 2024, jumlah pengangguran terbuka mencapai 3.904 jiwa dan pencari kerja terdaftar sebanyak 2.973 orang, mayoritas dari mereka lulusan SMA. Di tengah pertambangan yang hiruk-pikuk, ribuan anak muda justru tidak punya tempat. Apakah industri nikel terlalu canggih untuk menyerap tenaga kerja lokal? Ataukah sistem pendidikannya yang tidak pernah diarahkan untuk menjawab tantangan lokal?
Kekayaan alam, dalam tangan yang salah, hanyalah pemantik kerakusan. Para elit berbicara tentang pertumbuhan, namun lupa bahwa pertumbuhan tanpa keberpihakan hanyalah angka tanpa makna.
Tambang terus menganga, tapi luka sosial tak kunjung sembuh. Ini bukan soal kemajuan atau keterbelakangan, ini soal siapa yang diundang ke meja makan pembangunan dan siapa yang dipaksa menunggu di luar pagar. Ada yang lebih menyeramkan dari kemiskinan: ketidakberdayaan yang disahkan oleh kebijakan. Ketika rakyat tak lagi bisa memilih selain menyerah, ketika keberatan dianggap ancaman, dan ketika kesunyian menjadi satu-satunya perlindungan. Di saat tambang disebut "penyelamat", suara rakyat yang menjerit justru dibungkam dengan regulasi dan aparat. Maka demokrasi lokal tak ubahnya pementasan murahan, di mana naskah sudah ditulis oleh korporasi dan dialog rakyat disensor sejak awal.
Keadilan tak akan pernah lahir dari meja rapat yang hanya mengundang investor. Keadilan lahir dari keberanian mendengar suara yang tak terdengar dari teriakan ibu-ibu di pinggir jalan, protes pemuda yang mencari pekerjan, dan isak petani yang gagal panen karena limbah. Tapi hari ini, semua itu dianggap noise. Pemerintahan disulap menjadi manajemen, rakyat jadi statistik, dan tanah air jadi komoditas.
Ini bukan pembangunan; ini industrialisasi kesedihan. Sejak kapan kekuasaan begitu jinak pada pemodal dan begitu keras pada warganya sendiri? aparat melindungi aset korporasi lebih dari nyawa manusia. Ketika rakyat berdiri mempertahankan tanahnya, mereka dituduh radikal. Ketika mereka diam, mereka dilupakan. Maka sesungguhnya, tragedi ini bukan hanya soal ekologis tapi juga etis. Ada yang harus segera diakhiri: mitos bahwa tambang adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan. Kolaka tidak miskin pilihan; yang miskin adalah imajinasi para elit. Ketika seluruh masa depan diserahkan pada perut bumi yang digali, maka kita sedang membangun pondasi masa depan di atas kuburan harapan. Yang dibutuhkan Kolaka hari ini bukan lebih banyak alat berat, tapi lebih banyak keberanian untuk membalik arah. Dari ekstraksi menuju regenerasi. Dari eksploitasi menuju emansipasi.
Sejarah akan mencatat: bahwa di satu masa, sebuah daerah yang diberkahi nikel berlimpah justru sulit membahagiakan rakyatnya. Kini tinggal satu pertanyaan yang menggantung di udara berdebu Kolaka: untuk siapa sebenarnya semua ini dikeruk? Bila jawabannya bukan untuk rakyat, maka seluruh proses ini hanya kesia-siaan yang mewah.
Tanah yang kaya tapi tak membahagiakan adalah tanah yang dikutuk oleh kelalaian. Mari kita pertegas satu hal: rakyat Kolaka bukan anti tambang. Mereka tidak menolak modernisasi, apalagi menutup diri dari peluang kemajuan. Tapi yang mereka tolak adalah ketimpangan yang dilegalkan, perampasan yang disponsori, dan kesenjangan yang dibungkus narasi investasi. Tambang bisa menjadi jalan kemajuan, tapi hanya jika ia ditata dalam kerangka keadilan ekologis dan sosial. Hanya jika suara rakyat menjadi pusat, bukan sekadar pelengkap lembar konsultasi publik.
Tambang bukan musuh, tapi watak rakus yang menindih hak asasi, adalah sistem yang membisukan rakyat atas nama investasi. Ketika tambang hadir dengan itikad baik, menghormati hak hidup, menyejahterakan warga, dan memulihkan lingkungan, maka rakyat akan menyambutnya dengan terbuka. Tapi ketika tambang datang seperti badai yang merusak, melukai, lalu pergi tanpa bekas kebaikan, maka perlawanan adalah niscaya. Rakyat yang diam bukan berarti rela, mereka hanya lelah berteriak pada dinding kekuasaan yang tuli. Harapan kolektif masyarakat adalah tambang yang tahu diri.
Tambang yang datang membawa hormat, bukan arogan, membayar kewajiban bukan karena diawasi, tapi karena sadar akan tanggung jawab moral. Tambang yang menganggap warga sebagai mitra, bukan hambatan. Pemerintah harus kembali ke khitahnya: pelayan rakyat, bukan pengatur panggung investor. Sebab bila tambang hanya menguntungkan elite, maka konflik hanya soal waktu.
Kolaka punya potensi luar biasa untuk menjadi contoh praktik tambang berkeadilan. Tapi itu hanya mungkin jika pengelolaan berubah dari paradigma eksploitatif ke paradigma partisipatif. Mulailah dari yang paling sederhana: dengarkan suara warga. Libatkan mereka dalam perencanaan, evaluasi, dan pengawasan. Buat peraturan daerah yang melindungi hak-hak mereka, bukan hanya mengatur tata niaga komoditas. Pastikan bahwa yang kaya bukan hanya tambangnya, tapi juga manusianya. Inilah seruan kami: jangan matikan harapan rakyat hanya karena tambang dianggap lebih penting dari kehidupan. Jangan anggap kritik ini sebagai ancaman. Ini adalah bentuk cinta paling tulus kepada tanah yang kami pijak. Kami ingin tambang tetap ada, tapi sebagai berkah, bukan bencana. Sebagai kekuatan yang membangun, bukan yang menghancurkan. Kolaka berhak maju, tapi bukan dengan mengorbankan anak-anaknya sendiri. Kami tidak menolak tambang. Kami hanya menuntut keadilan yang seharusnya sejak awal menjadi syarat kehadirannya.

